Keadaan sangat timpang antara kehidupan di kota dan di desa terutama daerah perbatasan. Di Siding kami hanya bisa menyalakan lampu menggunakan genset dari jam lima sore hingga sembilan malam karena harus menghemat bensin. Selain itu, di Siding tidak ada sinyal telepon genggam yang kuat dari Indonesia, hanya ada sinyal dari Malaysia yang mahal dan hilang timbul, sampai-sampai telepon yang digunakan harus di ikat di kayu atau bambu dan diletakkan agak tinggi. Untuk menelpon harus menggunakan headset dan sangatlah terasa sulitnya berkomunikasi dengan dunia luar di sana. Suatu pengalaman yang baru bagi kami dan merupakan hal yang miris untuk bangsa ini.
Kemudian, di Siding tidak ada tenaga kesehatan baik bidan, perawat ataupun dokter. Adanya Puskesmas di sana seolah hanya sebagai hiasan yang mengisi kekosongan hutan, berdiri dengan gagah tapi tidak ada tenaga kesehatan yang bekerja di sana. Masyarakat Siding biasanya berobat ke Seluas yang jaraknya tiga jam perjalanan sungai, atau ke Malaysia dengan berjalan kaki melewati bukit sejauh dua jam perjalanan. Terakhir, di Siding kekurangan tenaga pengajar, guru yang bekerja di Siding sangat sedikit dengan jumlah siswa yang tergolong banyak meski belum semua anak sekolah, serta tidak adanya SMA sehingga banyak yang tidak melanjutkan sekolah atau harus melanjutkan SMA ke Seluas.
Kami juga melayani persekutuan kaum ibu, kaum bapak, melakukan home visit dan KKR. Setiap pelayanan kami selama di Siding mebuat kami melihat dan belajar banyak hal atas ladang yang Tuhan bukakan, dan kami semua sangat bersyukur boleh dipakai oleh Tuhan untuk melihat ladang pelayanan yang ada di negeri ini.
Pelayanan kami tidak hanya di Siding, kami juga ke desa seberang yang ditempuh satu jam lewat sungai. Saat itu begitu berkesan karena kami melintasi sungai di malam hari dengan hujan deras dan satu senter saja. Di waktu itu, Tuhan memberikan penyertaan dan penyataanNya. Tuhan menghadirkan kilat di tengah sungai yang gelap agar kami bisa melihat jalan di depan dan menghadirkan kunang-kunang di kanan dan kiri hutan agar kami tahu dan tidak menabrak tepi sungai. Walau terasa mendebarkan, malam itu menjadi sebuah pengalaman dan memori yang tidak dapat dilupakan dan digantikan dengan apapun juga.
Kami meninggalkan desa Siding dengan doa dan harapan agar firman yang kami beritakan menjadi firman yang hidup bagi semua orang yang ada di desa Siding dan berharap ada kesempatan yang Tuhan izinkan di lain waktu untuk kami satu tim kembali ke desa Siding dan melihat buah pelayanan kami disana.