Sharing Internsip: Masa Pemahiran, Masa Melangkah dengan Iman

Saat saya mengetik sharing ini, saya telah menyelesaikan tahapan internsip. Karanganyar, sebuah kabupaten yang tidak pernah terlintas di benak saya, menjadi tempat pemahiran selama satu tahun. Semuanya berawal ketika kami, para dokter baru, harus memilih wahana internsip secara online. Saat itu tidak banyak pertimbangan, hanya jarak dan kedekatan dengan sarana transportasi seperti stasiun atau bandara. Sewaktu memilih Solo, koneksi saya gagal dan saya berpikir bahwa wahana di sana habis. Akhirnya saya beralih ke pilihan kedua, Karanganyar, dan berhasil dengan bantuan sahabat saya.

Hidup di Karanganyar tanpa keluarga merupakan hal baru, karena selama di Semarang saya tinggal bersama nenek dan kakek. Saya banyak bergumul melawan kemalasan dan kebosanan, bersyukur ada teman-teman sewahana yang dapat diajak berbagi cerita, berekreasi sekaligus bertugas bersama. Saya memulai tugas di Puskesmas, dan belajar banyak hal khususnya mengenai status kesehatan masyarakat. Hal-hal seperti pernikahan dini, IMS dan HIV/AIDS, kesadaran ASI eksklusif yang minim, merupakan sedikit dari banyak masalah di tempat saya bekerja. Saya menyadari bahwa membangun komunikasi dan melakukan edukasi sangat penting, ketika saya berhadapan dengan pasien IMS yang awalnya sulit jujur menceritakan kondisinya. Selain itu, di Puskesmas kami juga melakukan berbagai penyuluhan, dan sempat memberi materi kepada dokter kecil yang akan mengikuti lomba. Terbersit rasa bahagia saat mendengar perwakilan kecamatan kami meraih tiga besar lomba dokter kecil tingkat kabupaten.

Di penghujung periode Puskesmas, saya mendapatkan kabar tentang tawaran beasiswa studi S2. Saya yang pada saat itu memang sedang mendoakan untuk studi lanjut, mengambil tawaran tersebut. Awalnya saya tidak mengetahui beasiswa tersebut dalam bentuk apa, akan ditempuh dalam waktu berapa lama, dan sebagainya. Saya mendaftarkan diri, dan dalam wawancara menyatakan bahwa saya sedang internsip sampai bulan Mei 2016.

Entah bagaimana, calon promotor yang mewawancarai saya mengatakan bahwa status tersebut tidak menjadi masalah, dan jadwal perkuliahan tetap dapat dimulai setelah internsip, asalkan selama internsip saya mulai menyusun proposal penelitian. Hati saya bimbang dan bertanya-tanya apakah benar Tuhan membukakan jalan untuk hal ini, terlebih ketika mengetahui bahwa beasiswa tersebut adalah untuk program biomedik, dengan konsentrasi konseling genetik, bukan program terkait kesehatan global seperti yang saya inginkan. Kemudian saya berbagi cerita dengan 2 orang saudara seiman di PMKK 2008, dan satu hal yang membuat saya merenung adalah kalimat saudara saya: “mungkin memang Tuhan mau tempatkan kamu di tempat yang awalnya nggak nyaman, supaya kamu belajar dan jadi berkat di sana.”

Singkat cerita, Tuhan benar-benar menyatakan kebaikanNya. Tuhan izinkan saya kembali diterima di Universitas Diponegoro untuk menempuh studi S2 dan S3 melalui program baru dari Dikti. Bapa mendengar doa saya nyaris 6 tahun lalu, tentang menjadi dosen dan/atau peneliti. Hal ini berjalan sinkron selama saya bekerja di Puskesmas maupun RSUD, meskipun harus bolak-balik Karanganyar-Semarang untuk konsultasi proposal. Di rumah sakit pun banyak kasus, pengalaman, dan rekan sekerja yang begitu berharga, menjadikan saya lebih terampil dalam bidang kedokteran dan dalam kehidupan sosial. Saya sungguh menyadari bahwa internsip memang masa pemahiran, dan bagi kita orang percaya, merupakan masa pergumulan dan masa melangkah dengan iman. Ini semua tentang beriman dan mengerjakan apa yang Tuhan sediakan bagi kita.

 

Tuhan Yesus memberkati.

 

dr. Nydia Rena Benita

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s